Tuesday 16 February 2016

MAHAR




Kupinang kau dengan Bismillah ….

Tergelitik dengan lagu yang dilantunkan Pasha Ungu dan kemarin sempat membaca postingan salah satu teman FB, saya tergerak untuk menulis artikel ini. Kalau dianggap sebagai bahasan yang sederhana, juga tidak sesederhana itu dalam kenyataannya. Apalagi kalau melihat gambar yang saya dapatkan dari Googling diatas, banyak banget mahar dan seserahannya. Topik yang sangat menarik bagi kaum Hawa dan sebuah informasi bagi kaum Adam … he he he. Karena mahar atau mas kawin merupakan salah satu bagian penting dan menjadi syarat sah-nya suatu pernikahan. 

Mahar adalah suatu tanda kesungguhan dari seorang pria untuk menikahi seorang wanita. Kata mahar berasal dari bahasa Arab yang artinya adalah pemberian wajib dari pihak mempelai pria kepada mempelai wanita sebagai pembayaran pernikahan. Seorang perempuan boleh meminta “ apapun “ kepada calon suaminya. Mahar yang paling umum diberikan oleh pengantin pria adalah seperangkat alat sholat, cincin emas dan uang tunai. Biasanya dibayarkan secara tunai pula. Meski di beberapa negara, mahar bisa dicicil atau kredit. Ada mahar yang di sebutkan secara gamblang, namun ada pula mahar yang tidak disebutkan karena bisa jadi adalah mahar itu sebuah janji yang akan dipenuhi di kemudian hari seiring berjalannya pernikahan. Pemberian mahar ini harus sesuai dengan kemampuan si calon pengantin pria, tidak boleh ada keterpaksaan yang berujung tidak mengenakkan. Dan mahar yang terbaik adalah yang paling ringan. Itu berarti, si pengantin wanita tidak boleh memberatkan. Lalu, mahar seperti apakah yang dimaksud dengan ringan ? Hanya mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim, kelihatannya sih ringan tapi bukan berarti mudah, iya nggak ? 

Ada yang berpendapat kalau seorang wanita tidak meminta mahar yang banyak, berarti kualitas agamanya hanya asal-asalan aja. Menikah dengan mahar yang terlalu murah dapat meningkatkan jumlah kegagalan dalam suatu pernikahan, yaitu berujung pada perceraian. Ada juga persepsi kalau gadis yang belum juga menikah itu karena mematok standar dan mahar yang tinggi. Nyesek banget kalau ada yang ngomong seperti itu … Hiks. Teori dari mana coba ? Mestinya orang kan bisa berpikir secara logis, kalau kualitas agamanya baik, tentunya dia tidak akan memberatkan dan mempersulit. Maksud dari “ boleh meminta apa saja “ juga bukan berarti minta semua harta benda sampai terkuras semua. Yang pasti permintaan yang wajar dan rasional. Justru yang sedang ngetren saat ini, menikah dengan mahar yang banyak dan resepsi yang mewah, tidak lama setelah itu cerai. Nikah lagi, terus cerai lagi. Pernikahan dianggap sebagai ajang bisnis karena mendapatkan mahar dan seserahan yang banyak. Yang ini niatnya mau nikah atau mau jadi kapal keruk nih, merampok tapi dengan cara halus. Agak heran juga karena wanita seperti itu justru malah lempeng jalannya alias gampang mendapatkan lelaki. 

Di negara-negara Timur Tengah, calon pengantin laki-laki harus menyediakan dana ratusan juta untuk perkawinannya. Uang sebanyak itu untuk biaya mahar, biaya perkawinan yang ditanggung pengantin laki-laki, biaya rumah, beli mobil dan biaya bulan madu. Di sebagian masyarakat Arab, semakin tinggi mahar semakin bangga mereka karena itu seakan sebagai bukti bahwa anak perempuan mereka mendapat calon suami dengan status sosial tinggi. Di Arab Saudi dan Iran, pernikahan bahkan bisa menelan biaya ratusan juta. Selain mahar, calon suami harus sudah menyediakan rumah atau apartemen dan kendaraan, plus deposito bagi calon istri. Ini semua dilakukan agar ketika terjadi perceraian, sang istri punya “ pegangan “ untuk bertahan sampai ia dilamar dan menikah lagi. Jumlahnya juga sesuai permintaan sang calon istri. Total, biaya untuk satu perhelatan pernikahan, calon suami sedikitnya menyiapkan uang yang setara dengan ratusan juta rupiah sampai satu milyar. Khusus bagi warga Saudi yang kurang mampu secara ekonomi, ada salah satu lembaga sosial yang khusus menghimpun dana untuk membantu warga yang berniat menikah, tapi tak mampu secara keuangan. Tidak ada kata lain selain …. Woooww, kepénak timen ya gadis disana …. LoL. 

Hal senada dengan juga terjadi di Indonesia. Di Sulawesi ( khususnya suku Bugis ), Sumatra ( Aceh, Batak, Nias ), dan Kalimantan ( Banjar ), Nusa Tenggara Timur ( Flores ) dikenal dengan nilai mahar yang paling tinggi di Indonesia. Nilai mahar bisa mencapai ratusan juta rupiah, nilai ini belum termasuk pemberian lainnya seperti sebidang tanah dan juga tidak termasuk ke dalam seserahan atau hantaran lainnya yang berupa keperluan hidup sehari-hari si wanita, seperti makanan, perhiasan, pakaian, sepatu, tas, kosmetika dan sebagainya. Asal si calon pengantin pria mampu aja, why not ? Iya nggak ? Jadi, kalau sudah punya niat baik untuk melamar gadis dengan latar belakang adat yang kuat, siap-siap dah rekening ludes … he he he. 

Beberapa dari keluarga saya ada yang menikah dengan orang Aceh, Padang, Banjar, Sunda, Betawi dan Batak. Yang pasti berbeda juga soal mahar ini. Menurut mereka, nilai mahar merupakan simbol kehormatan dan gengsi keluarga baik dari pihak wanita maupun pihak lelaki. Bagi pihak wanita, tingginya nilai mahar menunjukkan kedudukan sosial keluarga wanita tersebut. Nilai mahar ini dapat berubah disesuaikan dengan status sosial keluarga wanita dan ditentukan oleh pihak keluarga wanita tersebut. Tingkat pendidikan, kemampuan ekonomi, keturunan kebangsawanan dan kecantikan paras menjadi tolok ukur berubahnya nilai mahar si wanita. Makin tinggi tingkatan yang dimiliki oleh seorang wanita, maka akan semakin tinggi pula nilai mahar yang ditetapkan oleh keluarganya. Hingga saat ini, tidak jarang terdengar beberapa cerita dimana keluarga wanita yang masih keturunan bangsawan tanpa segan-segan menetapkan nilai mahar bagi anaknya dengan nilai ratusan juta rupiah, ada juga yang mencapai angka satu M.

Bagi pihak keluarga lelaki yang berniat menikahi seorang wanita, memenuhi nilai mahar yang telah ditetapkan oleh keluarga si wanita merupakan suatu simbol kehormatan pula. Bahkan, sering didapati pihak keluarga lelaki akan menambah beberapa seserahan di atas jumlah mahar yang ditetapkan keluarga wanita sebagai bentuk kemapanan keluarga si lelaki. Menurut sepupu saya nih, nilai mahar yang menjadi standar adat Aceh bagi seorang wanita adalah sepuluh mayam emas. Untuk ukuran saat ini, harga satu mayam emas kurang lebih mendekati nilai satu juta rupiah. Bila nilai mahar seorang wanita di Aceh kurang dari sepuluh mayam emas, hampir dapat dipastikan bahwa si wanita berasal dari kalangan status sosial yang bisa dikatakan rendah. 

Mungkin kaum pria di Padang Pariaman lebih beruntung kali yaa, beruntung karena diperebutkan … he he he. Karena yang namanya keberuntungan ini pasti ada pengorbanannya juga. Disana pihak yang melamar adalah kaum wanita. Ada semacam kompetisi untuk “ menjemput ” calon pengantin pria. Jadi keluarga perempuan harus menjemput laki-laki dengan semacam bawaan atau uang. Lho, kok gitu sih ? Itu untuk menghargai keluarga pihak laki-laki yang telah melahirkan dan membesarkannya, sehingga ketika anak atau kemenakan laki-laki mereka menikah dan meninggalkan rumah, mereka tidak merasa kehilangan. Artinya pihak keluarga anak gadis siap memberikan kompensasi berapapun nilainya asalkan anak gadisnya menikah dan mendapatkan suami. Tapi yang dijemput ini juga bukan pria sembarangan lho yaa, melainkan mempelai prianya yang secara sosial dianggap mapan, terhormat atau keturunan bangsawan. Untuk menjemput calon menantu yang mempunyai jaminan hari depan baik inilah maka orangtua dari pihak perempuan mulai berkompetisi memberikan uang jemputan. Karena pihak laki-laki yang menerima mahar dari pihak perempuan, maka dikemudian hari si ayah dan anak-anak tidak memiliki hak dan kekuasaan atas harta pusaka. Di Padang, pihak laki-laki atau suami harus tinggal dengan keluarga istri dan bekerja keras mencukupi kebutuhan rumah tangga. Dan yang mengatur segalanya adalah saudara laki–laki dari istri yang memberikan uang jemputan. Dan bila terjadi perceraian suami harus pergi tanpa harta dan anak-anaknya. Kasihan banget yaa … 

Untuk saya pribadi, hal ini sangat mencengangkan sekaligus menggelikan, bagaimana mungkin seorang wanita diberi harga sesuai dengan status sosial atau tingkat pendidikannya. Mereka tidak segan-segan mematok mahar yang tinggi apalagi yang punya strata sosial yang tinggi di masyarakat. Bahkan, tidak jarang pula kita dengar istilah bahwa mahar yang tinggi itu disamakan seperti transaksi jual-beli karena anak perempuan yang menjadi istri sama saja “ dibeli “ oleh seseorang yang akan menjadi suaminya. Tentang suami yang harus tinggal dirumah keluarga istri dan menanggung biaya hidup mereka ? Kalau hanya membantu sih, wajar yaa, sebagai bentuk empati dan toleransi. Tapi kalau disuruh menanggung keseluruhan, iya kalau yang ditanggung cuma beberapa orang, lha kalau banyak  gimana coba ? Apa nggak puyeng tuh ... LoL. 

Hmm ... saya tidak setuju dengan paradigma ini, biarpun itu adalah tradisi adat. Menurut saya nih, cinta sejati tidak memikirkan berapa banyak yang bisa didapatkan atau diberikan, karena cinta sejati selalu didasari dengan perasaan ikhlas. Bahkan terkadang, orang yang tulus mencintai selalu lupa dengan segala hal yang telah diberikan demi sebuah senyuman dan kebahagiaan orang yang dicintainya.

Meski adat Jawa juga mengenal bobot, bibit, bebet dan standart khusus dalam mahar pernikahan, tapi tidak se-ekstrem dan semahal daerah-daerah yang lain. Menyesuaikan situasi dan kondisi. Memang sih, secara alami, seorang gadis yang berlatar belakang baik akan mendapatkan pasangan yang baik pula. Kalau mengikuti adat Jawa sendiri sih, dimana-mana juga sama … sama ribetnya. Soal biaya memang tidak semahal di Aceh, Banjar atau Batak, tapi ritualnya itu lho, pating clekunik. Keluarga besar saya juga termasuk penganut budaya Jawa tapi fleksibel, kalau mau diikuti oke, kalau nggak ya nggak masalah. Pengalaman saat sepupu-sepupu saya menikah. Untuk mahar dan seserahan biasanya dimusyawarahkan antara pihak laki-laki dan perempuan agar tidak memberatkan dan sesuai dengan kemampuan. Permintaan mengenai mahar ini sebenarnya antara mempelai wanita dan calon mempelai pria, sedangkan para wali tidak memiliki hak untuk turut menentukan. Tapi pada umumnya nih, calon mempelai wanita dan keluarganya menyerahkan sepenuhnya soal mahar itu kepada sang calon mempelai pria. Jadi, mau ngasih apa aja ya diterima. Begitu juga dengan seserahan yang merupakan pemberian atau hadiah dari sang pria berupa barang-barang yang dibutuhkan oleh calon mempelai wanita. Tanda kesiapan seorang pria untuk bertanggung jawab penuh terhadap seorang wanita yang akan menjadi istrinya kelak. Nah, ini nih, kalau mendapatkan gadis baik-baik, biasanya sih tidak meminta banyak dan yang aneh-aneh. Tapi kalau mendapatkan gadis tipe kapal keruk, bisa ludes juga, minta ini itu … he he he.

Saya pribadi tidak pernah ada niat untuk mempersulit atau membebani calon suami saya nantinya. Karena sebaik-baiknya mahar adalah “ yang dimudahkan “, yaitu yang diberikan dan diterima dengan kerelaan dari kedua belah pihak. Bagi saya, memikirkan bagaimana kehidupan setelah pernikahan itu jauh lebih penting daripada ketika akad nikah atau walimatul ‘ursy pernikahan itu sendiri. Apalagi kalau ribut hanya karena soal mahar, jangan sampai dah. Misalnya diberi banyak ya Alhamdulillah wa syukurillah, kalau pun tidak ya, aku ora popo … LoL. Yang penting adalah syarat sah-nya pernikahan terpenuhi. Pinang aku dengan Bismillah …… yuuukk marii ….

Semoga ALLAH mempermudah jalan kita semua ... Aamiin.

No comments:

Post a Comment