Friday 31 July 2015

MBA ... Married By Arrangement

Apa sih yang kau tunggu
Apa sih yang kau mau
Langsung saja
Coba katakan ya
Coba katakan ya
Coba katakan kau setuju ...

Pernikahan adalah sebuah hal yang sakral, yang menjadi awal dari sebuah hubungan yang berlangsung seumur hidup. Namun saat ini banyak kasus di mana pernikahan digunakan sebagai alat, baik untuk menaikkan status sosial, ekonomi, menyenangkan pihak-pihak tertentu, bahkan demi kepentingan politik dan bisnis. Married by arrangement, pernikahan yang sudah diatur atau perjodohan, istilah bekennya lagi “ Arranged Marriage “. Topik paling menarik, bukan hanya di Indonesia saja, tapi di seantero jagad. Dan semua orang tidak pernah bosan membicarakan, termasuk saya. Soalnya banyak nih yang sudah mendapat gelar MBA, tapi mudah-mudahan saya tidak … LoL. 

“ What ? Dijodohin? Nggak salah nih ? Memangnya ane nggak bisa nyari sendiri ? Ane bukan Siti Nurbaya … Helloooo …”. Ya, kurang lebih inilah komentar saya saat masih kuliah … LoL. Dulu selain kuno, perjodohan juga saya dianggap sebagai salah satu pelanggaran terhadap hak seseorang dalam menemukan sendiri belahan jiwanya. Itu mah dulu, biasalah, komentar cewek berumur 20-an. Kalau sekarang lain lagi, karena sudah tua jadi lebih open minded. Tidak pro dan juga kontra … he he he. 

Sebenarnya, saya sudah tidak heran lagi dengan yang namanya perjodohan, rata-rata saudara sepupu saya menikah karena dijodohkan. Memang sih, kelihatannya baik-baik dan rukun-rukun aja sampai sekarang. Tidak selamanya dijodohkan itu buruk dan perjodohan juga bukan berarti orangtua tidak percaya kalau kita bisa mencari pasangan secara mandiri. Sebenarnya tidak ada salahnya jika memilih untuk menikah melalui jodoh yang dicarikan orang tua atau keluarga dekat kita. Kalau saya sih lebih sering berkelit, bukan apa-apa cuma persoalan hati aja. Karena hati tidak pernah bisa berbohong … Jiiaahh. Sehingga, apapun resikonya saya sendiri yang akan menghadapi.

Yang menjadi masalah utama dalam perjodohan itu umumnya adalah tujuan dan bagaimana cara menjodohkan. Jika fokus utama menjodohkan adalah untuk kebahagiaan kita, it’s okay-lah tidak ada masalah tapi apabila ada motif lain, misalnya karena harta dan tahta alias kekayaan atau status sosial, nggak banget dah. Perlu diingat, hormat dan patuh pada orangtua atau kerabat yang lebih tua, bukan berarti mengikuti semua kemauannya. Karena bagaimana pun setiap orang adalah pribadi mandiri yang berhak membuat keputusan sesuai dengan kemauannya sendiri. Dengan membuat keputusan sendiri, bukan berarti menjadikan kita sebagai anak durhaka. Jadi nggak ada cerita deh yang namanya main paksa. Meskipun banyak juga orang tua yang melakukan hal-hal seperti itu. Lagipula, cinta tidak bisa diukur dengan materi, kayak orang jualan aja, ya nggak ? 

Kadang berdasarkan ego tersebut, mereka jadi menutup mata dan telinga dari anaknya yang nggak mau dijodohin. Kalau cocok sih tidak apa-apa tapi kalau tidak cocok ? Itu bakalan menjadi malapetaka. Apalagi kalau memaksakan dicocok-cocokin, sudah pasti menjadi situasi yang sangat dilematis. It’s love disaster, membuat neraka untuk diri sendiri. 

Beruntung, saya mempunyai orangtua yang cukup moderat meski kadang-kadang sifat kolotnya keluar, tapi kalau urusan perasaan mereka memberi kebebasan penuh. Yang penting anak-anaknya happy, tidak salah pilih dan tetap berada di jalan yang lurus … he he he. Karena memilih pendamping adalah pilihan hidup bagi sang anak. Si anak-lah yang akan menjalani bahtera kehidupan. Justru keluarga dekat saya yang lainnya yang merasa jengah dengan ke-single-an saya dan adik saya. Menurut mereka, saya dan adik saya tidak ada alasan untuk menjadi jomblo … LoL. Makanya semua pada ribut menjodoh-jodohkan dengan si ini, si itu … pusing dah. 

Dan kali ini yang ketiban sampur adalah adik laki-laki saya. Karena sudah punya pilihan sendiri, adik saya sampai ngamuk-ngamuk saat mau dikenalkan dengan seorang gadis. Kalau saya yang digituin mah udah kebal, jadi nyantai aja … he he he. Yang tidak mengenakkan kalau yang menjodohkan itu berharap banyak alias harus jadi naik ke pelaminan. Masalah yang tadinya hanya sepele malah menjadi berkelanjutan, kriwikan dadi grojogan, bingung aja menghadapi hal seperti itu. Mestinya kan harus disadari kalau tidak semua orang mau menerima perjodohan. Yang belum menikah, belum tentu mereka tidak laku. Yang kelihatan masih single, belum tentu mereka tidak punya pilihan atau pasangan. Orang lain mah cuma melihat dari sisi luarnya aja, awalnya bermaksud baik mau mencarikan jodoh, pada akhirnya malah menjadi masalah. Kesannya jadi main paksa begitu. 

Memang sih, baik untuk seseorang belum tentu baik untuk kita. Banyak yang berpikir kalau masih single itu berarti pilih-pilih pasangan, mencari yang perfect atau punya standart yang tinggi. Padahal semuanya salah besar. Menemukan orang yang tepat tuh tidak semudah membalikkan telapak tangan, tidak seperti memilih kucing dalam karung. Saya dan adik saya punya tipe yang sama, mencari yang tidak neko-neko. Belum tentu yang cantik atau yang ganteng dan banyak duit itu disukai, kecuali bagi orang yang punya modus tertentu. Saya sendiri tidak mencari pangeran ganteng yang gagah dan gaul, saya hanya mencari “ A gentleman who really love me ”. Kalau cuma cinta abal-abal mah bertebaran. Karena sudah ketahuan, apapun yang mereka katakan hanyalah Lip Service dan tidak perlu ditanggapi. 

Menurut saya nih, perjodohan yang berdasarkan keterpaksaan membuat perjodohan begitu rapuh karena tak ada kecocokan yang dibangun di antara keduanya. Ikatan hubungan yang dibangun atas dasar cinta memang tidak menjadi jaminan akan langgeng apalagi bila hubungan tersebut berdiri tanpa dasar cinta sedikit pun, hal tersebut juga terancam lebih rapuh lagi. 

Jika ada yang mau menjodohkan, akan lebih baik dijajaki terlebih dahulu, jangan langsung iya,iya alias terima aja dan kemudian segera menikah. Karena menikah itu bukan lomba lari, siapa cepat, dia dapat. Bukannya menunda-nunda atau mengulur waktu tapi dilihat juga cocok atau tidak. Tidak apa berkenalan dulu dengan cara baik-baik, pernikahan itu masalah hati, harus cocok hati dan cocok pikiran. Fase ini penting untuk saling mengenal satu sama lain. Yang lebih penting lagi adalah niat baik dan kejujuran. Dalam arti, berniat untuk membina hubungan yang serius dan kedua belah pihak juga harus saling menyadari kalau dijodohkan, sehingga perlu dibicarakan secara intens, apakah perjodohan ini perlu diteruskan atau tidak. Jangan sampai mengambil keputusan untuk langsung menikah. Akan lebih baik meminta waktu untuk saling mengenal. Sehingga dalam proses saling mengenal, apabila tidak cocok, lebih baik hubungan diakhiri. Harus sama-sama legowo gitu loh … 

Memang sih, banyak yang memberikan argumen bahwa cinta dapat dibangun seiring waktu berjalan “ witing tresno jalaran seko kulino “. Nggak salah sih, cinta akan datang karena terbiasa. Tapi itu kan memerlukan proses dan kebesaran hati dari dua insan untuk saling menerima apa adanya. Namun persentase kemungkinan terbangunnya kecocokan, cinta atau tidak adalah fifty-fifty. Bisa jadi di tahap penjajakan itu keduanya akan jatuh hati, atau juga tidak. Pada umumnya, pasangan yang menikah karena cinta memiliki rasa cinta mereka sebagai salah faktor terbesar untuk menghadapi konflik-konflik pernikahan. Namun ketika tidak memilikinya, apa yang akan menjadi alasan terbesar untuk tetap setia pada pasangan ketika berbagai konflik berkelanjutan menghampiri ? Jika memang yang dijodohkan merasa nyambung pastinya mereka bisa saling mencintai, tetapi jika tidak ada kecocokan, ya susah untuk ke depannya. Hmm … memang enak, menjalani sebuah pernikahan di mana kemungkinannya adalah kita akan terjebak bersama seseorang yang tidak dicintai atau mencintai kita seumur hidup ? Alih-alih bahagia bersama pasangan yang dipilihkan, yang ada malah penderitaan batin berkepanjangan. 

Bukan berarti saya mengagung-agungkan cinta lho yaa. Seperti yang dikatakan sepupu saya, sometimes love just ain't enough, cinta saja tidak cukup. Perlu adanya kepercayaan, rasa nyaman, komunikasi, toleransi dan solidaritas yang tinggi dalam sebuah pernikahan dari kedua belah pihak. Bukan cuma salah satu aja, tapi keduanya harus sama-sama berjuang, mau menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing dengan berbesar hati dan berlapang dada. 

Bagaimana pun tak bisa dipungkiri, kenyamanan dan rasa saling percaya menjadi alasan utama yang melandasi dua manusia tetap berkomitmen untuk berada dalam satu hubungan. Namun, kekakuan dan rasa sungkan yang ada pada pasangan hasil perjodohan seringkali membuat komunikasi yang lancar dan hangat sulit dilakukan. Biasanya sih kelihatan formal banget, kan jadinya malah aneh. Menjalin hubungan jarak jauh aja seringkali terjadi misunderstanding, apalagi yang baru saja saling kenal dan langsung menikah. 

Cuma kelebihannya dijodohkan nih, kalaupun tidak jadi, kita bisa segera move on. Perjodohan yang belum terlalu dalam tentu lebih mudah daripada move on dari hubungan bertahun-tahun yang dijalani atas pilihan sendiri, ngilunya sampai merasuki pembuluh darah, Cynn … he he he. Tapi hal ini sebaiknya tidak dijadikan alasan untuk templok sana-templok sini, mentang-mentang bisa move on secepat kilat.

Kelebihan dijodohkan yang lainnya, ada pria yang berani meminang secara resmi dan bertanggung jawab di depan orang tua, setidaknya itu sudah menunjukkan sisi gentleman-nya daripada pria yang bertahun-tahun mengencani kita tapi tidak kunjung mau berkomitmen serius. Karena sudah dari awal diniatkan perjodohan hanya satu arahnya, untuk bersama-sama naik ke pelaminan. 

Berjalannya sebuah hubungan memang tak selalu mulus. Tidak jarang seseorang dihadapkan dengan hubungan yang tidak jelas status dan tujuannya. Niat hati ingin mendapatkan pasangan sejati, kadang orang yang dicintai justru menggantungkan hubungan. Tidak bisa dipungkiri kalau kaum pria memang memiliki banyak kelebihan, bisa memilih karena banyak pilihan. Bunga yang ada digenggaman seorang pria biasanya tidak hanya sekuntum, tapi seikat. Sering memberi harapan, eh nggak tahunya tiba-tiba malah pergi dengan yang lain tanpa pesan ataupun alasan. Wanita cenderung lebih tersiksa dalam pacaran dan sering terjebak dengan perasaannya sendiri … gue banget nih … hiks. 

Kemungkinan terburuk yang saya ceritakan adalah salah satu kasus disekitar saya yang pernah terjadi akibat perjodohan, tapi tidak semua perjodohan akan berakhir buruk, sepupu-sepupu saya juga baik-baik aja sampai sekarang. Banyak juga pasangan dari perjodohan yang hidup bahagia selamanya … Live happily ever after. Jadi tidak perlu mengalami menghabiskan waktu untuk pacaran lama, tapi tidak kunjung dinikahin alias di PHP-in aja … nyesek nih, sedih … 

Jujur, sebagai seorang anak kita tak selamanya benar. Bila kita punya pilihan atau pendapat lain, bukan berarti kita tidak sayang atau tidak menghormati orang tua atau kerabat lain yang lebih tua. Kalau salah diingatkan, kalau benar ya dibenarkan, jangan disalah-salahin melulu. Terlepas dari baik-buruknya perjodohan, kembali lagi kalau jodoh, rejeki, umur itu di tangan Tuhan. 

Biarlah kita menjalani pengalaman hidup agar bisa mendewasakan diri. Mengambil hikmah dari pelajaran yang didapat. Seiring berjalannya waktu, setiap manusia akan menjadi tua dan dewasa, menjalani lika-liku kehidupan dari kegagalan, keberhasilan, patah hati, jatuh cinta dan sebagainya. Justru hal-hal seperti itulah yang membuat hidup kita lebih berwarna. 

Apapun yang memang sudah takdirnya, yang akan terjadi pasti akan terjadi. Yang bisa dilakukan hanyalah ikhlas dan menerima, enjoy ajjahh gitu. Itulah yang terbaik. Semoga informasi ini berguna, bagi Anda yang sedang menjalin hubungan ataupun akan dijodohkan dan menjadi self reminder untuk saya sendiri. Mau dibawa kemana hubungan kita … Ku tak akan terus jalani … tanpa ada ikatan pasti … antara kau dan aku … LoL. 

Semoga ALLAH, SWT selalu melimpahkan rahmat-Nya pada kita semua … Aamiin.