Friday 13 October 2017

AUTOIMMUNE WARRIOR


Lama tidak menulis dan jarang membuka blog, bukan karena super sibuk atau sok sibuk, si mumun yang ada didalam tubuh saya benar-benar membuat saya jungkir balik, salto, lempar lembing, lempar cakram ... LoL. Sesuatu yang tidak pernah saya duga sebelumnya setelah empat tahun mendapatkan remisi. Benar-benar menikmati hidup tanpa obat anti tiroid, beta blocker dan oksigen. Memang pada tahun-tahun sebelumnya ( mulai dari akhir 2014 ) kalau ada gejala sedikit saja seperti tremor, mual-mual dan pusing seperti keracunan, saya baru kontrol ke dokter tapi tidak sesering seperti di tahun ini. Sejak awal tahun kondisi fisik saya benar-benar drop dan sempat dirawat dua kali di Rumah Sakit. Itu juga belum berakhir karena saya masih bolak-balik kontrol ke dokter sampai bulan Agustus lalu. 

Dan Oktober adalah bulan dimana saya mendapatkan gelar tambahan sebagai Odamun, Orang dengan autoimun. Duabelas tahun sudah saya hidup bersama autoimun Grave’s Disease alias Hipertiroid atau gondok diffuse beracun. Seperti yang pernah saya tulis di artikel sebelumnya, pertamakali didiagnosa menderita GD pada tahun 2005 dan berobat intensif sampai medio tahun 2010. Saat itu Profesor juga pernah bilang kalau bisa kambuh lagi. Sempat berpikir kalau saya sudah terapi obat, pasti sudah benar-benar free dan kalaupun kambuh paling sehari dua hari. Tapi ternyata tidak, karena pada akhirnya saya tahu kalau GD adalah salah satu jenis autoimun yang hanya bisa ditidurkan sementara. 

Setelah masa remisi yang cukup lama itu sepertinya saya juga lengah karena merasa keenakan dan mungkin juga karena kurangnya pengetahuan tentang penyakit autoimun jadi gejala-gejala awal berbaliknya saya abaikan. Meskipun tidak opname tapi sempat juga beberapakali ke UGD. Ada rasa tidak nyaman dengan fisik yang saya rasakan meskipun tidak kontinyu. Ketidaknyaman tersebut masih saya abaikan dan saya nyatakan sebagai kecapean hingga saya mulai merasakan kesemutan kadang ditangan, kaki, tubuh bagian belakang, entah pada saat duduk ataupun pada saat memegang handphone. Saat bangun tidur, telapak kaki juga kadang nyeri seperti menginjak-injak batu. Bukan hanya itu, saya mulai lagi merasa pegel-pegel otot, otot kedut-kedut, nyeri sendi, sulit berpikir dan berkonsentrasi yang dikenal dengan brain fog. Gejala ini muncul di akhir tahun 2014 dan mulai saat itu saya ditangani dua dokter, ahli Endokrinologi dan Profesor yang dulu merawat saya sekarang hanya menangani kasus insidental aja karena beliau ahli Rhematologi.

Puncaknya pada bulan Januari lalu, tanpa ada gejala apapun, tiba-tiba saya tremor, aritmia dan sesak napas. Sudah bisa ditebak kalau pada akhirnya harus bedrest di Rumah Sakit selama seminggu. Setelah 2 minggu merasakan udara dirumah, saya terpaksa mondok lagi di Rumah Sakit karena sesak napas dan aritmia berulang. Dari hasil cek darah saya lebih buruk dari yang sebelumnya karena sistem imun saya error, saya jadi terinfeksi mulai dari radang tenggorokan, tonsilitis, sistitis, bronchitis dan gastritis. Pada orang yang sehat, sistem imun dapat membedakan mana virus, bakteri atau jamur yang jahat dari bakteri yang baik dan dari organ tubuh sendiri. Autoimun terjadi ketika sistem pertahanan tubuh tidak dapat membedakan antara virus penyebab penyakit dengan suatu sel-sel tubuh sendiri. Dalam artian, sistem imun salah mengartikan sel-sel tubuh sendiri tersebut sebagai penyebab penyakit, sehingga mereka menyerang sel-sel organ tubuh tersebut. Berbeda dengan asma dan alergi yang disebabkan karena sistem imun yang over reaktif terhadap zat asing misalnya debu, kacang, ikan laut, dan lain-lain. Autoimun bereaksi terhadap sel tubuh sendiri. Ketika sistem kekebalan tubuh error, di mana seharusnya bertugas melindungi tubuh, namun berbalik menyerang tubuh. Autoimun dapat mengganggu aktivitas seseorang jika tidak ditangani dengan baik. Tidak heran kalau badan sampai drop karena semua penyakit itu bercampur aduk dan menyerang saya. Kalau dulu saya hanya minum satu atau dua macam obat, kini saya mesti minum beberapa obat dan obat itu disesuaikan dengan kebutuhan tubuh saya mulai dari beta blocker, obat penenang, anti nyeri, anti peradangan, antibiotik, obat lambung dan vitamin. 

Setelah bergabung dengan komunitas Autoimun, pengetahuan saya semakin bertambah. Penyintas autoimun memang lebih baik bergabung di grup dengan sesama penderita AI agar bisa sharing atau membagi pengalaman seperti bagaimana rasanya walaupun penanganan pada setiap orang berbeda-beda. Yang pasti bisa saling support satu sama lain, terutama untuk diri kita sendiri. Jangan dikira, meskipun terlihat tegar, penderita autoimun terkadang punya rasa ingin menyerah, gue banget tuh ... hiks. 

Saya jadi mengenal apa hubungan fullmoon dengan autoimun dan apa itu sebenarnya brain fog. Sesuatu yang sebelumnya belum saya alami dan belum saya sadari. Dua tahun terakhir ini yang namanya Brain Fog terlihat seperti nyata adanya. Bukan hanya berkurangnya fokus dan konsentrasi tapi saya juga sering lupa, meskipun bukan jenis lupa permanen. Entah sudah berapakali saya lupa menaruh barang, membeli barang, bolak-balik kesana kemari hanya untuk mengingat dan mungkin juga dalam hal janji. Kadang saya juga bingung mesti mau ngapain dulu, mau ngomong apa, Ibu saya juga sering bilang kalau saya sekarang payah konsentrasinya. 

Meskipun Grave’s Disease termasuk mudah diobati dan bukan yang termasuk autoimun yang berat namun sulit dikontrol dan bisa menyebabkan komplikasi-komplikasi yang berat kalau tidak segera ditangani. Saya mesti menjaga aktivitas dan diet saya seperti dulu saat terapi lima tahun. Menjaga agar badan saya tidak nge-drop dan bisa memicu flare lagi. Saya terapkan kembali terapi yang diberikan Profesor yang dulu merawat saya karena lebih efektif dan masa remisi yang saya dapat juga lebih panjang. Nggak boleh marah, nggak boleh sering mewek, semuanya di bawa happy aja. Dulu selama lima tahun saya benar-benar tidak bersentuhan dengan internet. Laptop dan modem ada ditangan adik saya. HP juga yang nggak canggih, yang penting ada kamera cybershoot buat motret kue-kue dagangan saya. Kalau menulis, saya memakai cara manual, tulis dulu dikertas baru diketik ke PC jadul saya dan tidak bisa berlama-lama karena mata saya tidak tahan. Setelah tahun kelima ( terapi hampir selesai ) barulah saya punya akun medsos seperti FB, itupun yang buatin juga tante saya karena waktu itu studi di Leeds, UK, untuk komunikasi, mahal diongkos kalau telpon-telponan atau sms terus ... he he he. Browsing juga masih saya batasi, seminggu hanya dua atau tiga kali ke warnet dekat rumah, kalau saya buka laptop dirumah bisa seharian full ... LoL. Dulu memang tidak secanggih sekarang ya, banyak medsos bertebaran tapi dari sisi positifnya adalah kita tidak menjadi internet addict, kalau sekarang kayaknya susah banget lepas dari handphone.

Yang paling berat kalau urusan habluminannas alias bersosialisasi dengan manusia karena penderita autoimun selain harus pintar mengatur aktifitas sosial, juga harus bisa me-manage dirinya sendiri dan itu adalah hal yang benar-benar susah. Sebagai makhluk sosial kita tidak mungkin menghindar dalam urusan ini. Tidak semua orang bisa memahami atau mengerti. Kita sendiri juga tidak mungkin menjelaskan pada setiap orang tentang kondisi kita. Apalagi kalau sudah merasakan sakit yang beruntun dan masih ditambah dengan menghadapi orang yang rada-rada nggak jelas gitu, sajak é kok ngécé banget. Penyintas autoimun tidak pernah ingin dikasihani kok, kalaupun bercerita hanya untuk berbagi pengalaman dan mencari solusi. Tidak ada maksud apa-apa, apalagi kalau untuk cari perhatian, ngeluh, atau apalah. Yang saya lihat nih, justru orang normal yang malah banyak keluhan dan tuntutan. Memang sih, orang jaman sekarang kayaknya punya kecenderungan tidak punya etika, rasa sok pinternya gede banget dan nyinyirnya minta ampun. Kalau ngadepin orang seperti itu mendingan usir-usir manjaa ajaahh ... he he he.

Saat ini Alhamdulillah, kondisi saya sudah stabil, meskipun kalau malam kaki kadang masih terasa nyeri, kadang tiba-tiba mual, leher merasa nggak nyaman dan mata juga kadang tidak tahan cahaya. Btw, ini waktu terlama saya nulis dan online, mata saya juga sudah tidak silau lagi. Semoga besok-besok lebih lama lagi. Begitulah yang namanya autoimun, datang tak diundang, pergi nggak pamitan kayak jalangkung .... he he he. Jadi harus ikhlas dan berdamai dengannya. Saya masih banyak istirahat dan mengurangi aktifitas. Mengurangi aktifitas bukan berarti tidak berkarya lho ya. Setiap orang pasti pengin dong, usaha yang dirintisnya semakin berkembang. Kerja tapi nggak ngoyo gitu alias tetap waspada karena sedikit saja ada kesalahan, kondisi saya bisa menjadi tidak stabil. Selalu menjaga keseimbangan mind, body and soul. Tapi yang namanya autoimun meskipun telah berusaha di kontrol, tetap aja memberikan kejutan-kejutan yang tidak diundang, namun jika diperhatikan dan dijaga dari berbagai aspek semoga kejutannya menjadi tidak berat, cepat bisa ditanggulangi atau bahkan bisa dicegah. 

Bagaimana kita menjalani hari-hari untuk kedepannya adalah sebuah pilihan. Bukan hanya tentang penyakitnya aja tapi juga tentang kehidupan. Saya masih terus berusaha memahami, mempelajari dan berusaha untuk mengontrolnya hingga bisa mencapai remisi. Meski berat yang telah saya lalui, namun saya masih banyak keberuntungan dan saya harus banyak bersyukur. Autoimun buat saya adalah tempat berbagi dan belajar. Ibarat anak kecil, sayalah yang perlu mengenal dan bertoleransi dengan autoimun. Dan ketika anak kecil itu merengek-rengek, saya sudah punya jurus jitu untuk menenangkannya. Sebagai manusia tugas saya hanya berikhtiar, semoga dengan izin Allah SWT, saya bisa pulih seperti dulu. Buat teman- teman penyintas autoimun, terus semangat yaak ... We are the Winner.