Wednesday 26 April 2017

RA. KARTINI DAN KONTROVERSI



Setiap tanggal 21 April, masyarakat Indonesia selalu memperingati Hari Kartini. Anak-anak sekolah dan wanita pekerja kantoran seperti diwajibkan memakai pakaian tradisional kebaya ala Jawa untuk memperingati peran Raden Ayu Kartini yang dianggap sebagai tokoh emansipasi wanita Indonesia. Saya sebut Raden Ayu, karena Kartini sudah menikah, sebutan Raden Ajeng atau Raden Roro hanya untuk gadis yang belum menikah. Biar nggak gagal paham maksudnya ... LoL. 

Meski diperingati setiap tahun, adanya pro dan kontra mengenai peringatan Hari Kartini terus berlanjut. Banyak hal yang selalu menjadi perdebatan terutama mengenai penetapan tanggal 21 April atau hari kelahiran RA Kartini pada 21 April 1879 sebagai Hari Kartini. Perjalanan hidup seorang Kartini pun, sejak ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 1964 oleh Presiden RI, Soekarno, juga sudah menuai kontroversi. Ada beberapa alasan yang mengundang tanda tanya dengan kehidupan Kartini seperti pendidikan ala Barat, asupan buku dan majalah eropa. Yang paling menghebohkan adalah kecurigaan adanya rekayasa penggelembungan gagasan dan pemikiran Kartini melalui surat-surat korespondennya kepada Rosa Manuela Abendanon-Mandri, istri JH. Abendanon yang seorang menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan. Dugaan yang muncul bahwa J.H. Abendanon yakni suami salah satu sahabat pena Kartini, telah merekayasa, merubah atau meng-edit surat-surat Kartini. 

Kecurigaan ini timbul karena buku ini terbit tepat pada saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis ( politik balas budi ) di Hindia Belanda dan J.H. Abendanon termasuk orang yang berkepentingan dalam mendukung politik etis tersebut. Sampai saat ini sebagian besar naskah asli surat Kartini tidak diketahui keberadaannya. Menurut alm. Sulastin Sutrisno, jejak keturunan J.H. Abendanon sukar dilacak pemerintahan Belanda. Selama ini kita hanya di suguhi banyak buku, tulisan ataupun terjemahan yang bersumber dari buku yang di terbitkan Abendanon semata. Banyak yang meragukan pada kebenaran isi surat-surat RA Kartini. Hingga saat ini, naskah-naskah asli surat korespondensi Kartini yang disebut ke teman-teman Belandanya tidak bisa dihadirkan pihak Belanda sebagai dokumen bersejarah. Yang ada hanya isi dan kopiannya. Padahal, dari kumpulan surat-surat inilah dibuat buku oleh Belanda yang dikatakan ditulis oleh Kartini, yaitu Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya “ Dari Kegelapan Menuju Cahaya ”. Oleh J.H Abendanon, isi dari surat-surat Kartini kemudian dipublikasikan ke berbagai media di Eropa sebagai propaganda politik etis Belanda yang saat itu sedang berlangsung. Politik untuk memanipulasi media Eropa bahwa Belanda telah berbuat baik kepada negeri jajahannya. Rekayasa terakhir dari sosok Kartini oleh Belanda adalah pendirian Yayasan Kartini oleh tokoh Politik Etis Belanda, Van Deventer. Dari yayasan inilah dibangun Sekolah Kartini yang cabang-cabangnya tersebar di berbagai propinsi.

Selain kontroversi diatas, RA Kartini juga dianggap berbicara hanya untuk ruang lingkup gadis priyayi Jawa saja, tak pernah menyinggung suku atau bangsa lain di Indonesia ( Hindia Belanda ). Pemikiran-pemikirannya di tuangkan dalam rangka memperjuangkan nasib perempuan priyayi, bukan nasib perempuan secara keseluruhan. Didalam tulisan dan pemikirannya Kartini tidak pernah menyinggung nasib perempuan yang kelasnya lebih rendah. Tak pernah terlihat dalam tulisan dan pemikirannya, adanya keinginan RA Kartini untuk mewujudkan Kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda, apalagi dalam hal memanggul senjata. Saat itu, terkesan lebih mendukung Belanda berada di Indonesia. RA Kartini juga dianggap tidak konsisten dalam memperjuangkan nasib perempuan. Dalam banyak tulisannya ia mempertanyakan tradisi Jawa yang di anggap menghambat kemajuan perempuan, seperti tidak boleh sekolah, di pingit ketika mulai dewasa, dinikahkan dengan laki-laki tidak di kenal dan menjadi korban poligami. Ia juga tak jarang mengkritik Islam yang notabene adalah agamanya, dimana ia mempertanyakan pembenaran laki-laki yang berpoligami. Selain itu, ia juga mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan di hapalkan tanpa di wajibkan untuk di pahami. Kartini pernah mengungkapkan pandangannya bahwa dunia ini akan lebih damai jika tidak ada agama, karena agama sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah dan saling menyakiti. 

Harsja W. Bachtiar adalah salah satu tokoh sejarawan yang menggugat penokohan RA. Kartini. Dalam karangannya yang berjudul, “ Kartini dan Peranan dalam Masyarakat Kita ” dalam buku Satu Abad Kartini, Harsja mengatakan bahwa Kartini merupakan simbol bentukan Belanda. Indonesia tidak menciptakan simbol perjuangan kaum wanitanya sendiri, melainkan hanya mengadopsi. Lebih lanjut Harsja mengungkapkan, masih banyak wanita pribumi yang perjuangan dan pengabdiannya telah melampaui Kartini. Kartini bukanlah tokoh emansipasi awal. Apa gerakan pembebasan yang telah dilakukan Kartini ? Pembebasan terhadap siapa? Dari apa wanita Indonesia hendak dibebaskan ? Cukup menohok nih, terutama bagi para pengkultus atau pengagung Kartini. 

Beberapa kalangan bahkan juga menggugat sisi heroisme Kartini yang dijadikan sebagai simbol perjuangan kaum wanita. Sejarah hidup Kartini tidak lebih hanya surat menyurat saja ( Taufik Abdullah ). Tidak ada action yang dilakukan Kartini. Pendirian “ sekolah gadis ” oleh Kartini tidak sempat berkembang dan tidak memberikan pengaruh besar terhadap pendidikan kaum wanita pribumi. 

Kalau ditilik dari sejarah nasional, banyak tokoh perempuan di Indonesia yang dianggap berjasa dan dinilai mampu memberi kontribusi yang lebih progresif, bukan hanya Kartini seorang. Sebut saja nama pahlawan nasional wanita seperti Tjut Nyak Dien, Tjut Meutia, Christina Martha Tiahahu, Dewi Sartika, Rasuna Said dan Rohana Kudus. Sosok yang benar-benar berjuang tapi tidak sepopuler nama Kartini. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yaitu Malahayati. Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini. Tokoh-tokoh wanita ini secara jelas melakukan perlawanan terhadap Belanda. Dewi Sartika dan Rohana Kudus misalnya, dua wanita ini pikiran-pikirannya memang seperti sengaja tidak dipublikasikan. Raden Dewi Sartika tidak hanya giat berpikir, tetapi juga mengimplementasikan pemikirannya ke gerakan nyata dalam masyarakat dengan mendirikan sekolah khusus putri, sekolah Kaoetamaan Istri pada tahun 1902. Tidak seperti Kartini yang justru menjadi alat legitimasi politik kamuflase etis Belanda di Indonesia. RA Kartini adalah tokoh pemikir bukan pejuang emansipasi wanita. Karena tidak ada tindakan konkret dalam hal memperjuangkan emansipasi wanita. Cakupan wilayah perjuangannya pun jauh lebih luas dari Kartini yang hanya sebatas di Jepara dan Rembang saja.

Kalau tanggal 21 April dimaksudkan untuk dijadikan momentum emansipasi kaum perempuan, kan ada peringatan di hari lain yang lebih universal, misalnya Hari Ibu tanggal 22 Desember, betul nggak ? Peran Kartini masih patut di debat dengan alasan masih banyak pejuang perempuan lainnya yang perlu di peringati hari lahirnya. Peran Kartini terlalu di besar-besarkan oleh ahli-ahli sejarah Jawa dengan mengatakan bahwa Kartini sudah dianggap sebagai pejuang emansipasi wanita hanya melalui surat-suratnya yang kemudian di bukukan oleh J.H. Abendanon.

Lalu siapa yang pantas di hargai ? Seseorang dengan sebuah pemikiran atau seseorang yang melakukan tindakan nyata? Kalau RA Kartini dianggap sebagai pahlawan Nasional, bagaimana dengan Raden Dewi Sartika dan pejuang wanita lainnya yang perjuangannya lebih nyata sekaligus lebih berat bila dibandingkan dengan RA Kartini ? Jadi, ada baiknya kita, bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih, mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini ? Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgonje ? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga malah mengikuti kebijakan itu ? 

Agar tidak menjadi debat kusir karena adanya kontroversi itu, kita ulas sejenak tentang Raden Ayu Kartini. Anak perempuan dari pasangan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan M.A. Ngasirah. Ibu dari Kartini adalah isteri pertama, tapi bukan yang utama. Karena adanya aturan kolonial Belanda yang mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Sementara, Ngasirah bukan anak seorang bangsawan. Ia hanya seorang anak kiyai, Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Ayah Kartini pun menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan ( Moerjam ), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, yaitu R.A.A. Tjitrowikromo.

Interaksi Kartini dengan literatur Belanda dan Eropa begitu kuat. Ia suka membaca buku-buku, koran, dan majalah Eropa. Dari situlah, Kartini tertarik pada kemajuan pola berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah. Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel ( paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan ). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie.

Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum.

Dari bacaan-bacaan ini pula, Kartini menginginkan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht ( Kekuatan Gaib ) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder ( Letakkan Senjata ), semuanya berbahasa Belanda.

Bertolak belakang dengan pemikirannya sebelumnya, RA Kartini pada akhirnya menerima untuk dinikahkan ( dipoligami ) dengan bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, yang sudah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903, pada usia 24 tahun. Pada saat menjelang pernikahan, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan kala itu. Dengan kata lain bahwa Kartini, walaupun sudah berstatus istri masih melakukan aktifitas-aktifitas intelektualnya atas bantuan suami dan orang terdekat dari kalangan pribumi. Salah satu bukti bahwa Kartini sudah membuka pintu yang luas untuk dirinya adalah menjadi kolomnis untuk majalah Eropa dan menjadi penulis buku. Bukan hal yang mudah di zaman penjajah saat itu. Akan tetapi Kartini seorang gadis bangsawan dengan gaya pendidikan yang ketat tanpa mengalami kesulitan bisa menulis buku atau membaca buku-buku literatur Eropa. 

Ketika memasuki area pernikahan dan hidup di Rembang bersama suami tercinta, rupanya sang suami sangat mendukung visi, misi dan tujuannya. Terutama dalam hal pendidikan dan menulis buku. Kartini sudah membuat plot buku yang bertema Babat Tanah Jawa, tapi buku itu belum selesai ditulis karena meninggal dunia. Juga ada peran seorang ulama Kyai Sholeh Darat atau Kyai Mohammad Sholeh bin Umar, seorang ulama besar dari Darat, Semarang, yang mengajarkan tafsir Surat Al-Fatihah dalam bahasa Jawa agar Kartini lebih memahami Islam. Kyai inilah yang memberi pencerahan dari surat Al-Baqarah ayat 257 bahwa ALLAH-lah yang telah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya ( Minazh Zhulumaati ilan Nuur ), sejarah istilah “ Habis Gelap Terbitlah Cahaya “ yang ternyata berasal dari Al-Quran. Kata dalam bahasa Arab tersebut, tidak lain, merupakan inti dari dakwah Islam yang artinya: membawa manusia dari kegelapan ( jahiliyah ) ke tempat yang terang benderang ( hidayah atau kebenaran Ilahi ). Tapi Kyai itupun wafat dengan misterius, sebab umat islam memang sepertinya sengaja dijauhkan dari ilmu agamanya sendiri. 

Baik yang pro maupun kontra, saya anggap menarik, karena kita bisa berwacana dalam dua arah yang berbeda. Sayangnya fanatisme membabi buta atau pengkultusan ala Indonesia masih saja belum hilang dalam benak sebagian dari kita. Sehingga wacana menarik ini jadi arena debat kusir dengan mengesampingkan realita dan logika pada akhirnya. Yang pro terlalu mengkultuskan dan yang kontra bakalan dibully, dianggap tidak mendukung emansipasi wanita. Tapi jujur ya, secara logika saya cenderung percaya kalau RA. Kartini memang hanya bentukan Belanda sebagai alat propaganda politik etis. Dimana saat itu Belanda kehilangan pamor di daerah jajahan dan berusaha meniru Inggris yang lebih maju dalam hal memakmurkan koloninya. Surat-surat asli Kartini yang tidak bisa dilacak keberadaannya sehingga memunculkan kontroversi bahwa sebagian isi buku tersebut adalah rekayasa. Kartini dianggap alat propaganda karena sekolah Kartini dibangun dimana-mana bukan oleh keluarga Kartini melainkan oleh Yayasan Kartini yang didirikan oleh keluarga Van Deventer, tokoh politik etis. 

Kalau boleh membandingkan nih, silsilah keluarga nenek dan kakek saya sendiri sebenarnya juga tidak jauh berbeda dengan keluarga RA. Kartini. Mulai dari uyut sampai nenek, kakek saya dan saudara-saudaranya karena mereka hidup di jaman Kartini, bahkan juga sebelumnya. Sepupu dan kakak-kakak nenek saya ada yang seusia dengan RA Kartini, mungkin juga lebih tua. Di Solo juga ada dua kerajaan dan bukan hanya daerah kadipaten. Keluarga uyut saya juga penganut didikan Jawa kuno dan pesantren tapi anti kolonialisme, feodalisme dan imperalisme lho yaa, jangan salah. Saat itu, sekitar tahun 1850-an sudah ada sekolah khusus keputrian dan untuk gadis priyayi boleh memilih antara sekolah keputrian atau sekolah dirumah, istilah kekiniannya home schooling. Gadis-gadis dibekali dengan ketrampilan menjahit, memasak, menyulam, menyongket, membaca, menulis, tata krama dan pendidikan keluarga.

Perbedaan yang terlihat begitu kentara bagaimana seorang Kartini lebih dipengaruhi oleh lingkungan pendidikan yang dibentuk oleh ayahnya yang sudah pasti pro Belanda. Kakek Kartini dari ibunya adalah seorang Kyai yang aktif mengajarkan agama Islam di daerahnya. Sangat disayangkan karena sang Ibu tidak mengajarkan anaknya tentang Islam. Kartini lebih banyak mendapatkan didikan ala Barat dan sekaligus Jawa Ningrat karena ayahnya adalah seorang Adipati. 

Jadi tidak heran kalau kiblatnya kesana dan keinginannya begitu kuat untuk melepaskan diri dari belenggu adat yang menurutnya menghambat kemajuan dirinya, mungkin juga gaya hidup yang didambakannya. Gadis keturunan bangsawan memang mempunyai privilege untuk bisa mengenyam pendidikan di level tertentu pada masa itu. Meskipun bukan pendidikan dalam level yang tinggi, setidaknya wanita keturunan bangsawan masih bisa menikmati bangku sekolah dibandingkan dengan wanita dengan status sosial biasa. Kenyataannya adalah RA Kartini yang hidup dalam lingkungan ningrat Jawa, memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan Belanda dan melahap literatur-literatur penting seperti buku-buku sastra dan majalah dibacanya hingga umur 12 tahun. Dengan kemampuan bahasa Belanda yang bagus, Kartini memang belajar banyak hal dari “Barat”. 

Kalau saya amati nih, nenek saya dan seluruh klan-nya terutama yang perempuan sepertinya tidak ada yang terbelakang, rata-rata fasih berbahasa Arab dan juga Belanda. Jadi, yang ngajarin nenek saya dan saudara-saudaranya pantas disebut pejuang emansipasi juga mestinya ya ... LoL. Anak-anak gadis uyut saya juga banyak yang mengajar di sekolah atau pondok pesantren dan melanglang buana ke beberapa daerah di Jawa Timur. Ada yang menikah muda dan juga ada yang sudah cukup umur. Ada yang mau dijodohkan dan ada yang memilih sendiri partner hidupnya. Nenek saya sendiri menikah saat usia 30 tahun dengan sepupu dari pihak ibunya. Yang seperti itu jaman dulu sudah biasa kali yaa. Eh, nggak ding, tante saya ada yang menikah dengan sepupunya dan sepupu saya ada juga yang dijodohkan ... he he he. Pada akhirnya, semua itu berbalik pada sistem dan prinsip yang dianut. Mau dijalani ya monggo, tidak dijalani ya nggak apa-apa. Tapi kalau soal tata krama Jawa, keluarga saya masih memakainya walaupun sudah banyak yang terkontaminasi alias luntur akibat perkembangan jaman.

Kata nenek saya, jaman dulu kalau ada orang dari daerah yang diangkat menjadi pejabat oleh Belanda, rasa feodalnya malah melebihi orang yang benar-benar keturunan bangsawan atau berasal dari kerajaan. Istilah jaman kekiniannya kendoro-doronen atau gila pangkat dan hormat. Lucunya nih, sekarang malah banyak orang yang kepengen banget punya gelar bangsawan keraton dan sampai dibela-belain dengan mengeluarkan uang banyak demi gelar Raden Mas atau Raden ayu. Padahal, seperti yang Kartini bilang, dalam kritikannya pada tradisi Jawa yang mengekangnya sebagaimana ditulisnya kepada Stella, ”Adat sopan-santun kami, orang Jawa, amatlah rumit. Adikku harus merangkak bila hendak lalu di hadapanku. Kalau adikku duduk di kursi, saat aku lalu, haruslah segera ia turun duduk di tanah, dengan menundukkan kepala, sampai aku tidak kelihatan lagi. Tiap kalimat yang diucapkan haruslah diakhiri dengan sembah. Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya, langkahnya pendek-pendek, gerakannya lambat seperti siput, bila berjalan agak cepat, dicaci orang, disebut “kuda liar”. Peduli apa aku dengan segala tata cara itu. Segala peraturan, semua itu bikinan manusia, dan menyiksa diriku saja. Kau tidak dapat membayangkan bagaimana rumitnya etiket di dunia keningratan Jawa itu.” ( Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899 ). 

Kalau bagi saya pribadi, saya lebih suka menyebut RA Kartini sebagai a good reader,  great observer, pejuang literasi dan seorang penulis yang handal. Seorang gadis bangsawan muda yang mengalami pergolakan batin tapi bisa menorehkannya kedalam tulisan. Meninggal dalam usia yang masih sangat muda, 25 tahun ( 1879-1904 ) dan sayangnya, wanita itu tidak mendapatkan didikan agama dengan baik. Mengutip kata-kata Albert Einstein, Ilmu tanpa agama lumpuh, Agama tanpa ilmu buta. Setelah Kartini mengenal Islam sikapnya terhadap Barat mulai berubah, seperti suratnya pada Rosa Abendanon, 27 Oktober 1902, “Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna ? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban ?” ( Surat Kartini kepada Rosa Maria Abendanon, 27 Oktober 1902 ).

Jadi meski terdapat kontroversi mengenai peringatan Hari Kartini, yang harus selalu diingat adalah adanya energi positif yang dapat diserap oleh semua orang, khususnya kaum wanita, untuk terus berkiprah di tengah segala keterbatasan yang dimiliki. Melalui kegiatan menulis, keterbatasan yang ada dapat ditembus dan dijadikan energi untuk mengembangkan potensi diri. Sosok RA Kartini yang rajin menulis layaknya seorang blogger patut dijadikan contoh. Hanya dengan menulislah kita meninggalkan warisan sangat berharga buat anak cucu. Untuk dijadikan pengalaman bagi setiap insan di dunia ini dan tentunya sebagai self reminder bagi si penulis.

Walaupun menjadi kontroversi soal keotentikan surat-suratnya, tapi saya suka dengan kutipan ini, “ Bagi saya hanya ada dua macam keningratan, keningratan fikiran ( fikroh ) dan keningratan budi ( akhlak ). Tidak ada manusia yang lebih gila dan bodoh menurut persepsi saya dari pada melihat orang membanggakan asal keturunannya. Apakah berarti sudah beramal sholih orang yang bergelar macam Graaf atau Baron ? Tidaklah dapat dimengerti oleh pikiranku yang picik ini ” ( Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899 ) dan kutipan yang ini “ Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya” ( Surat Kartini kepada Rosa Maria Abendanon, Agustus 1900 ).

Intinya, dalam ajaran Islam, perempuan itu istimewa. Laki-laki dan perempuan diciptakan berbeda untuk menjadi partner yang saling melengkapi. Laki-laki memang kepala keluarga, seorang imam, Arrijalu qowwamuna 'alannisaa'. Wanita dalam Islam adalah mitra pria bukan sekedar lawan jenis yang cenderung bernuansa rivalitas dan kontradiksi ataupun hanya sebagai pemuas nafsu, filosofinya adalah dua pasang insan yang berlainan jenis yang saling melengkapi dan membutuhkan. Seperti yang dijelaskan dalam Quran surat At-Taubah ayat 71, “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka ( adalah ) menjadi mitra dan penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh ( mengerjakan ) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar.”

Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. “ Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan”. Memahami dan menghayati semangat Kartini secara benar akan menambah keistimewaan itu. Menuntut emansipasi berlebihan justru akan membuat hidup kaum wanita melenceng alias kebablasan karena melupakan kodratnya sebagai perempuan. 

Pihak yang mendukung peringatan Hari Kartini pasti membanggakan bahwa Kartini bukan sekadar tokoh emansipasi wanita yang mampu mengangkat derajat kaum perempuan di Indonesia saja tapi juga di Eropa. Kartini juga dianggap sebagai tokoh fenomenal. Melalui aneka gagasan serta ide-ide pembaharuannya, dia telah dianggap sebagai pejuang emansipasi wanita. 

Apapun itu meski ada pro dan kontra, semua itu hanyalah catatan sejarah. Tak perlu sampai berdebat kusir seperti yang bisa kita baca di kolom komentar beberapa media online. Ada atau tidak ada seorang Raden Ayu Kartini, perubahan jaman akan terus terjadi dan ini tidak bisa kita hindari. Takdir sudah ditentukan dan Raden Ayu Kartini tidak dapat dipanggil kembali untuk sebuah konfirmasi. Isi benaknya tetap tersimpan dalam deretan tulisan sejarah yang ditorehkan orang lain dan tumpukan surat-suratnya dalam lingkaran elit kolonial. Kartini tampaknya memang ditakdirkan menjadi milik semua golongan dan diperebutkan oleh berbagai pihak untuk bermacam-macam kepentingan. 

Satu lagi soal emansisapi eh emansipasi, tak perlu ada rasa lebih tinggi atau rendah. Dua tangan berlainan jenis yang saling bergandengan dan bahu membahu itu lebih baik. Berjalan beriringan, terkadang salah satu berlari lebih cepat atau lambat. Kalau memang bisa gantian apa susahnya sih, gitu aja kok repot ... he he he. Sekedar opini aja yak, semoga bermanfaat dunia akhirat ... 


Have A Nice Day ...



# SUMBER : WIKIPEDIA INDONESIA