Sunday 13 October 2013

WOMEN & POLITICS


Saat ini perjuangan wanita dalam memperjuangkan kesetaraan gender sudah menunjukkan hasil. Peran wanita sudah menjadi besar dalam mewarnai perkembangan jaman. Ada sisi positif dan ada pula sisi negatif yang ditimbulkannya. Dan semakin banyak juga wanita yang merambah dunia politik. Yang menjadi pertanyaan, apakah kualitas politisi wanita sudah setara, sekedar pelengkap saja di lembaga negara ( untuk pemenuhan kuota perempuan ) atau hanya menjadi bunga-bunga parlemen ?

Dalam sejarah politik dunia, skandal wanita dan kekuasaan banyak terjadi. Sebut saja skandal cinta Cleopatra dengan penguasa Romawi, Julius Cesar dan sang panglima perang, Markus Antonius. Bill Clinton dan Monica Lewinsky. Dan yang heboh di negeri kita sendiri, Ahmad Fathanah dan sederet perempuan cantiknya dalam kasus impor daging sapi. Semua yang haram menjadi halal asalkan bisa berkuasa dan tetap berkuasa. Dan selalu saja perempuan yang dijadikan tameng. Para elit politik seolah telah kehilangan etika dan adab dalam berpolitik. Padahal makna sejati politik itu adalah suatu cara untuk memperoleh tatanan yang lebih baik. 

Kekeliruan akan persepsi politik-lah yang saat ini terjadi.  Money politik, gratifikasi sex dan bentuk perilaku politik yang amoral yang tentu saja tidak pantas dipertontonkan di ruang publik. Sehingga politik yang bertujuan luhur itu dimaknai oleh masyarakat sebagai hal yang kotor, kejam dan tamak. Lihat saja kaum wanita yang sekarang duduk di parlemen, pernahkan anda melihat sedikit prestasi mereka untuk negara kita ? Hampir tiap hari kita menyaksikan tingkah elit politik yang tidak bermoral, baik lokal maupun nasional. Sebut saja Angelina Sondakh atau Ratu Atut, mereka dulu dipuja-puja dan dianggap wanita luar biasa. Dimana mereka sekarang ? Prestasi apa yang mereka persembahkan pada negara selain korupsi ? Dimana juga suara artis-artis wanita yang berada di dalam gedung Parlemen. Janji saat kampanye cuma isapan jempol belaka. Sepertinya rakyat yang dulu memilih mereka juga ikut terhipnotis, padahal sudah jelas kalau mereka sendiri yang tertindas. Mungkin cuma Ayu Ting Ting aja yang berani bersuara lantang, dimana ....... dimana ....... kemana ..... Lol. 

Perempuan juga berhak untuk berpolitik. Kata-kata itu selalu didengung-dengungkan pada saat kampanye. Untuk memenuhi kuota perempuan di kursi legislatif ( meskipun hanya 30 % tapi belum terpenuhi ). Sulitnya perempuan untuk terpilih menjadi anggota legislatif karena minimnya calon legislatif berkualitas yang dimiliki oleh partai. Dan mayoritas anggota parlemen wanita saat ini berasal dari kalangan public figure alias artis. Dan mereka bisa duduk disana karena dipinang oleh partai, bukan melalui proses penggemblengan sejak lama. Sudah pasti mereka tidak tahu menahu soal politik. Nggak heran kalau mereka hanya bisa duduk manis dan lenggak lenggok. Kalau begini, siapa yang keterlaluan ? yang milih atau yang dipilih ?  

Tidak ada yang salah kalau perempuan ingin berkiprah di bidang politik. Saya sendiri pernah berpartisipasi di salah satu partai politik, tapi sudah delapan tahun back off , say goodbye to politics ( Bapak saya bilang, alhamdulillah ..... LOL ). Meskipun nggak seratus persen karena kadang saya masih melihat acara TV, Indonesia Lawyer Club. Terkadang juga ikut kegiatan sosial meskipun dalam posisi netral. Dan orang yang paling berperan mengisi otak saya dengan ilmu politik adalah nenek saya. Disadari atau tidak proses penggemblengan politik dari keluarga berpengaruh sangat besar. Saya juga diperkenalkan dengan organisasi wanita Islam yang didirikannya bersama ibu Sudalmiyah Rais ( ibunda DR. Amien Rais ). Yang saya tahu, ibu-ibu yang duduk di parlemen pada saat itu ( jaman Orde Baru ) mereka semua jujur, berprestasi dan tidak mementingkan kepentingan partainya sendiri, padahal mereka itu militan partai. Dan kehidupan pribadi mereka juga baik-baik saja, tidak pernah melalaikan keluarganya. Sangat berlawanan dengan ibu-ibu yang mendapatkan kursi empuk saat ini .... miris banget deh

Ada banyak hal yang saya pelajari dari dunia politik. Dan untuk terjun ke sana, perempuan setidaknya punya tiga modal, pengetahuan, kejujuran dan keberanian. Tiga modal itu dalam arti yang positif. Bukan pengetahuan untuk menipu rakyat, keberanian untuk korupsi dan jujur mempertontonkan tingkah amoral mereka. 

Dan hal-hal yang terkait dengan wanita, baik itu feminisme, kesetaraan gender atau apapun namanya, ada baiknya digunakan dengan hati-hati. Jangan sampai semangat feminisme itu berbalik menyerang diri sendiri. Tidak serta merta digunakan dalam setiap kesempatan. Agar tidak lupa kodrat sebagai seorang wanita. Karena bagaimanapun juga, perempuan itu satu langkah dibelakang laki-laki. Dan tidak ada yang namanya imam perempuan. 


No comments:

Post a Comment