Saturday 1 February 2014

AKULTURASI


Dominasi warna merah dan kuning saat perayaan Tahun Baru Imlek bisa dilihat dimana-mana. Mulai dari makanan, lampion, gantungan hias, stiker hingga amplop angpao. Beberapa hari menjelang tahun baru kesibukan dalam rumah warga keturunan Tionghoa sudah terlihat. Dimulai dengan pembersihan rumah secara besar-besaran, bahkan ada yang mengecat baru pintu-pintu dan jendela. Ini dimaksud untuk membuang segala kesialan serta hawa kurang baik yang ada dalam rumah dan memberikan kesegaran dan jalan bagi hawa baik serta rejeki untuk masuk.

Hiasan dan makanan di perayaan Imlek memiliki arti sendiri. Warna merah bagi masyarakat Tionghoa dipercaya mengandung makna semangat dan keberuntungan. Imlek identik dengan Angpao, Nian Gao atau kue keranjang, jeruk Ponkam, jeruk Santang, kue KU merah, kue Moho, kue lapis, ikan bandeng, pohon Mei Hwa, dan patung kucing yang tangan kirinya selalu berayun. Makanan dan pernak-pernik seperti itu di jual di setiap sudut. Bahkan di warung-warung di dekat rumah saya. Kalau saya sih, lebih suka menunggu upeti dari tetangga .... LoL ......

Kalau perayaan Tahun Baru Masehi ramai dengan letusan kembang api dan petasan dan bunyi terompet. Di Solo, mungkin perayaan Tahun Baru Imlek dan Tahun Baru Hijriyah lebih meriah dan bermakna daripada perayaan Tahun Baru Masehi. Kalau Tahun Baru Imlek meriah dengan pernak pernik makanan, Tahun Baru Hijriah dirayakan dengan lebih tenang dan khidmat. 

Umat Islam memperingati hari raya tersebut dengan memperbanyak ibadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada saat itu, umat Islam biasanya membaca doa awal tahun, berdzikir, serta memohon ampun atas segala dosa yang diperbuat di masa lalu, juga berdoa agar diberi keselamatan dan rezeki di tahun ini. Shodaqoh atau sumbangan juga biasa diberikan kepada orang-orang yang kurang mampu dan anak-anak yatim piatu di momen Tahun Baru Islam.

Sama seperti hari-hari besar Islam lainnya, peringatan Tahun Baru Islam dimulai sejak sore hari setelah matahari terbenam. Ada ritual tahunan yang selalu ditunggu oleh masyarakat yang tinggal di sekitar Solo dan kota-kota lainnya yaitu kirab ( tradisi yang hanya ada di Solo dan Yogya) yang diadakan dua kerajaan, Mangkunegaran dan Kasunanan. Biasanya ribuan orang dari berbagai penjuru datang memadati dua kerajaan selepas Dhuhur dan semakin banyak menjelang upacara adat peringatan malam Tahun Baru Hijriyah atau malam 1 Suro. Baik yang hanya sekedar menonton jalannya prosesi kirab ataupun yang ingin ngalap berkah

Pihak kerajaan membagikan biasanya membagikan berbagai makanan seperti nasi bungkus, kue apem, jenang Suran, uang receh dan juga air bekas jamasan pusaka keraton. Banyak orang memperebutkan air bekas cucian pusaka dengan harapan mendapatkan barkah. Kalau yang terakhir ini sebaiknya tidak perlu ditiru karena penuh kemusryikan dan secara logika, air bekas cucian pusaka tentunya kotor dan jauh dari kata hygienist.

Banyak sekali warga keturunan Arab dan Tionghoa yang tinggal disini. Kebanyakan dari mereka adalah para pelaku bisnis. Masyarakat di kota tempat saya tinggal ini sangat familiar dengan budaya dan makanannya. Sebaliknya, mereka juga sudah sangat menyatu dengan kehidupan orang-orang Jawa dan bahkan, lebih suka menggunakan bahasa Jawa dalam kesehariannya daripada bahasa Indonesia. Bukti hubungan baik antara masyarakat Tionghoa, Jawa dan Arab sudah mendarah daging. 

Memang, tidak mudah menyatukan beberapa perbedaan yang sangat mencolok, tapi itu tidak berlaku di sini. Adanya tempat ibadah yang berdekatan menandakan kerukunan antar umat beragama sangat kuat. 

Jadi nggak perlu heran kalau di Solo, di setiap sudut, Anda menemukan Dim Sum, Sea Food, Kweetiau, Pak Lay, nasi bakar Sechuan, kue Moci, Bak Pao, Bebek Peking. Ingin mencicipi masakan Arab ? datang saja ke Kedung Lumbu dan Pasar Kliwon disana banyak penjual nasi Kebuli, Ruz Biryani Lahm, Khobus Tannur, Kue Kaak, Kabab, Roti Maryam, Syawarma, Sate Kambing , buah kering dan pernak-pernik khas Arab .... ditambah bonus, cuci mata .... he he he.

Percampuran budaya yang terus berkembang menjadi salah satu bukti akulturasi, peleburan terjadi dengan saling hidup berdampingan dan menjunjung nilai-nilai toleransi.



No comments:

Post a Comment