Monday 17 November 2014

Specific Character


Indonesia adalah negara kepulauan dengan berbagai macam suku, adat istiadat dan bahasa daerah. Setiap daerah mempunyai ciri khas masing - masing baik itu kebudayaan ataupun individunya. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Kebiasaan, kepercayaan, nilai-nilai, hukum dan moral pada suatu kelompok masyarakat tertentu yang bersifat nyata dan dilaksanakan secara turun temurun. Secara sederhana kebudayaan yang berada di lingkungan manusia tempat dimana dia tinggal akan membentuk kepribadian orang tersebut. 

Begitu juga dengan karakter atau kepribadian seseorang. Karakter tidak terbentuk secara kodrati, tetapi karena adanya proses seseorang dengan lingkungan sekitarnya termasuk salah satunya karena adanya kebudayaan. Karakter juga merupakan kecenderungan psikologis seseorang untuk melakukan tingkah laku sosial tertentu, baik berupa perasaan, berpikir, bersikap, dan berkehendak maupun perbuatan. 

Secara umum kebudayaan dan karakter saling memiliki keterkaitan dalam kehidupan setiap manusia. Karena, pada hakekatnya manusia adalah makhluk sosial yang saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Pada umumnya, masyarakat di Indonesia masih memegang teguh tradisi kebudayaan dari daerahnya masing-masing. Jadi, apabila seseorang berada di lingkungan yang kental akan kebudayaan maka karakter orang tersebut akan sesuai dengan kebudayaannya. 

Saya sendiri keturunan Jawa, lebih tepatnya Solo atau Surakarta Hadiningrat .... LoL. Dimana sejak lahir saya terdidik dalam budaya Jawa dan Islam. Keluarga besar saya kebanyakan masih mengikuti beberapa tradisi sebagaimana adanya adat istiadat keturunan Solo, meski saya dan keluarga saya tidak mengikuti secara keseluruhan. Simpel aja sih, kalau ngikutin adat tuh, ribet. Lagipula, sejak kecil saya terbiasa berpindah-pindah kota, ngikutin bapak saya dinas, jadi mesti menyesuaikan diri dengan tempat dimana saya tinggal. Meskipun ada satu hal yang tidak bisa saya hindari kalau ada orang yang tahu tempat kelahiran saya, mereka pasti bilang, Oh, jebule Putri Solo tah .... he he he.

Surakarta, Solo atau Sala, mungkin satu-satunya kota di Indonesia yang punya dua nama. Terkenal dengan kota perdagangan, batik, kota kuliner dan yang pasti, Princess of Solo. Masyarakat yang identik dengan sifat ramah, rendah hati, sederhana, sopan-santun, lemah lembut tutur bahasa dan perilakunya. Penggemar langgam Jawa pasti familiar dengan lagu ini, Putri Solo .... Dasare keporo nyoto.... Lakune koyo macan luwe .... Kiyet kiyet suwarane .... Dadi lan pantese .... Mung Sandal jepit pengangite. Yang terakhir ini mah, gue banget .... he he he. 

Jujur, ada beban tersendiri kalau mengaku orang Solo. Ada pandangan kalau gadis asal Solo harus pandai menari, nembang Jawa dan membatik. Mlakune klemar-klemer, ngomonge klemak-klemek. Kebanyakan memang iya sih, tapi kalau bicara klemak-klemek nggak lah .... he he he. Soalnya, saya juga bisa bicara keras tapi nggak kasar lho, ya. Biar suka ngeyel, tapi pantang memaki dan bicara kotor. Penghuni kebun binatang nggak bakalan keluar .... LoL.

Meskipun ada Yogyakarta yang juga terkenal dengan kota budaya Jawa ( saya juga pernah tinggal lama di sana ). Mungkin karena di Yogya lebih banyak pendatang dan budaya disana sudah mulai luntur. Lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia. Jadi atmosfer Jawanya beda gitu loh, di Solo lebih terasa. Selain itu, masyarakat Solo masih kental memegang budaya Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Kebanyakan warga keturunan Arab dan Cina yang tinggal disini pun juga menerapkan hal-hal seperti itu dalam kehidupan sehari-hari. Mereka pun juga terlihat lebih Njawani dan lebih sering menggunakan bahasa Jawa daripada bahasa Ibu mereka.

Masih ingat ajaran-ajaran yang diberikan pada saat saya masih kecil, dan juga tetap terbawa sampai saat ini. Kalau berbicara dengan orang yang lebih tua dan mereka sedang duduk, kita tidak boleh berdiri, harus ikutan duduk. Bilang nuwun sewu, ndherek langkung kalau melintas di depan orang yang lebih tua. Laki-laki lebih diutamakan. Bicara yang sopan. Dulu, saya sering kena semprot habis-habisan karena sering melanggar aturan ... he he he.

Dalam masyarakat Solo, penggunaan bahasa Jawa sangatlah memperhatikan siapa yang diajak berbicara untuk menentukan ragam bahasa yang digunakan. Hal ini menunjukkan adanya unggah-ungguh atau sopan-santun yang masih dipertahankan, dilihat dari tingkat tutur berbahasa yang masih memperlihatkan, prinsip santun dengan memperhatikan siapa yang diajak berbicara dan kapan serta tempat peristiwa tersebut terjadi. Terlebih lagi dalam lingkup keraton yang masih dominan, sehingga dalam berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya sangat berhati-hati karena terdapat berbagai lapisan yang berbeda sehingga dalam memilih kata, harus dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi.

Ada tiga jenis bahasa Jawa yang digunakan disini ( yang pasti bahasa Indonesia juga ). Bahasa Jawa Ngoko, Krama Alus dan Krama Inggil. Pemakaian bahasa ini menyesuaikan dengan keadaan yang mengucapkan, siapa yang diajak berbicara, kapan, di mana, bagaimana, apa sebab, maksud dan tujuannya. 

Di era tempo dulu, bahasa Jawa Ngoko biasanya digunakan bagi yang mempunyai kedudukan yang akrab atau kedudukan salah satunya lebih tinggi. Sesama saudara, teman dekat, pembeli dengan penjual, majikan dengan pembantu. Krama Alus merupakan tataran bahasa menengah yang terletak di antara Ngoko dan Krama Inggil, karena salah satunya lebih tua dan yang lainnya umurnya lebih muda. Hal ini digunakan karena memberi kesan saling menghormati. Anak kepada orang tua, pembantu kepada majikan, bawahan kepada atasan, penjual kepada pembeli, orang yang baru dikenal atau ditemui. Dan Krama inggil digunakan untuk menunjukkan hubungan antar keduanya yang bersifat bersifat horizontal. Orang-orang yang bekerja di berbagai instansi,pelayanan publik. Yang lucu nih, ada sepupu ibu saya yang berbahasa Krama Inggil dengan saudara-saudaranya dalam kesehariannya, Pripun, dalem sowan kala wau mboten pinanggih panjenengan ..... kayak pertunjukan wayang orang aja jadinya .... he he he.

Lain dulu, lain sekarang. Kalau ada yang masih mempertahankan tradisi, itu sudah biasa. Jaman sekarang penggunaan bahasa Jawa sudah mengalami pergeseran karena kondisi saat ini, tergerus dengan arus modernisasi sehingga penggunaan bahasa Jawa semakin memudar. Mungkin mereka malu bertutur dengan bahasa Jawa, padahal bule-bule banyak yang belajar dan fasih berbahasa Jawa. Istilahnya, wong Jowo ilang Jawane. Tapi memang tidak semua orang Solo berperilaku halus dan lemah lembut tutur katanya. Banyak juga yang suka berbicara kasar dan bertingkah berangasan, semua itu tergantung di lingkungan mana dia tinggal. Banyak juga sih, yang ngaku-ngaku orang Solo, padahal bukan. Tapi biasanya kelihatan tuh, kalau sudah bertutur, Solo asli atau Solo kemringet alias Solo masih 60 km. 

Begitulah, sekelumit kisah tentang Solo, City never sleep, The Spirit of Java. Kota bagi orang yang ingin menikmati hidup, kuliner murah 24 jam nonstop. Asal jangan kepagian aja kalau ingin belanja ke pertokoan, soalnya rata-rata baru buka antara jam 10-11 pagi. Pada nyantai semua sih, kalau sudah rejeki nggak bakalan kemana kok .... LoL.


No comments:

Post a Comment